Pajak-B 2012



Tiga tahun yang lalu, untuk pertama kalinya, saya memasuki sebuah ruang kelas. Saya melihat puluhan anak belasan tahun bersetelan necis. Kemeja, jeans, rok, dress, jaket. Saya yakin, itu semua pakaian baru yang sengaja mereka beli demi memulai jenjang kuliah. Maklum, demam maba.
Tampak mereka saling bercengkrama sendiri-sendiri dengan teman di sisi. Yang saya juga yakin, mereka baru saling mengenal beberapa hari yang lalu. Atau bahkan mungkin, beberapa menit yang lalu.
Sambil mata saya menyisiri mereka satu persatu, saya bertanya dalam hati. "Tiga tahun, saya akan bersama mereka. Akan nyamankah saya?"


Tiga tahun berlalu, saya menemukan jawabnya. Bersama mereka, saya tidak hanya menemukan kenyamanan. Tapi, saya juga mendapatkan pembelajaran. Bhinneka Tunggal Ika, yang selama ini hanya saya baca di buku pelajaran dan di cengkeraman garuda yang diapit dua foto manusia terkuasa di negeri ini, kini kalimat itu benar-benar saya rasakan. Kami datang dari berbagai penjuru negeri ini. Kami datang dengan agama dan kepercayaan kami masing-masing. Kami datang membawa budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Tapi bagi kami, semua itu tak terasa bedanya.
Bersama-sama dalam canda dan tawa di ruangan yang sama selama tiga tahun lamanya. Bersama-sama menjelajahi alam negeri tercinta. Gunung, pantai, pulau, air terjun, dan yang lainnya. Tak ada yang kami lewatkan. Dan tentu saja, bersama-sama mengerjakan hal paling sulit dipahami di dunia ini. Ya, pajak.


Kini kami telah sama-sama melewati masa-masa paling dituntut mandiri dalam masa muda kami. Untuk kesekian kalinya dalam hidup kami, kami berada di persimpangan jalan sekarang. Masing-masing dari kami juga telah memilih jalan mana yang akan kami ambil. Ada yang ingin langsung menuntut ilmu lagi, demi meningkatkan kualitas diri dan menambah panjang nama pemberian orang tua. Ada yang ingin mengaplikasikan ilmu yang telah didapat, demi mengais rezeki sekaligus merasakan dunia kerja yang selama ini selalu digadang-gadang saat masa kuliah. Ada yang ingin langsung membangun rumah tangga? Mungkin saja.

Apapun itu, semoga jalan yang kami ambil adalah jalan yang terbaik. Sehingga suatu hari ketika kami berkumpul kembali, ada cerita yang bisa kami bagi, tentang gelar, jabatan, dan tentu saja, pasangan hidup masing-masing.
.
.
.
.
.
On the train to Malang, 7 August 2015
- Rifqi Aditya -

Comments

Popular posts from this blog

At-Taqwa

Kawah Candradimuka

Ayah