Ayah
Jika Allah berkehendak memberikannya nafas yang lebih panjang, ini akan menjadi Idul Fitri ke-48 sepanjang hidupnya. Tapi nyatanya, masanya untuk menjadi khilafah di muka bumi ini telah habis. Semoga ini juga pertanda bahwa Allah ingin ia segera berada di sisi-Nya.
Semasa hidupnya, saya mengenalnya sebagai pemimpin dan penghibur yang luar biasa bagi keluarga. Ia memang bukan pribadi yang proporsional untuk dibanggakan dalam variabel jabatan dan pendidikannya. Tapi toh, untuk apa memiliki jabatan mentereng, jika tidak bisa selalu ada untuk keluarga? Untuk apa berpedagogi tinggi, jika tidak bisa membimbing keluarganya?
Ia memang bukan sosok yang pintar dan intelek. Tapi sebagai tebusannya, ia memiliki semua keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala keluarga, yang ia pelajari satu demi satu, setapak demi setapak, demi menjadi sosok panutan bagi keluarganya. Tapi bagi saya, ia bukan hanya panutan, ia adalah impian. Impian bahwa saya ingin menjadi sepertinya. Menjadi sosok ayah yang bisa diandalkan keluarga.
Maka hingga saat ini, tak pernah ada rindu yang terasa terbuang atau terkesan sia-sia, meski tak ada harap untuk bisa kembali berjumpa. Raganya mungkin tak ada, tapi hatinya selalu bersama saya. Semoga kami bisa kembali bertemu di jannah-Nya.
.
.
.
.
.
Cirebon, 17 July 2015
- Rifqi Aditya -
Comments
Post a Comment