Malang
Pernahkah anda mencintai seseorang tanpa alasan? Mungkin pernah. Orang bilang, itu cinta sejati.
Tapi, pernahkah anda mencintai suatu tempat tanpa alasan?
Saya bisa menemukan puluhan alasan mengapa saya mencintai kota ini. Tapi meskipun semua alasan itu dihilangkan, saya akan tetap mencintai kota ini.
Saya mencintai kesejukan kota ini. Mengapa? Mungkin ini anomali, karena selama belasan tahun saya terpapar panasnya matahari pantura. Meskipun kesejukan di sini agak kelewatan saat matahari sedang menyinari belahan bumi yang lainnya.
Saya mencintai wisata alam disini yang beragam dan luar biasa. Mengapa? Mungkin ini bentuk kekecewaan saya karena terbatasnya wisata alam di kota asal saya. Sekaligus bentuk kedongkolan saya terhadap pemerintahnya yang alih-alih meningkatkan kualitas wisata alam yang ada, malah semakin menjamakkan mall dan pusat perbelanjaan, tempat ibu-ibu menghabiskan harta serta anak-anak muda memamerkan gadget dan busana.
Saya mencintai keramahan masyarakat kota ini. Mengapa? Mungkin ini agak pleonasme. Karena sudah sangat jelas, siapa sih yang betah hidup bersama masyarakat yang tidak ramah? Walaupun disini terkadang ketika keramahan bergeser jadi kemarahan, maka akan diekspresikan lewat tindak tanduk dan kata-kata yang terlalu berlebihan. Cak cuk cak cuk sudah jadi hal biasa.
Bagaimana dengan kulinernya? Ah, maaf saja, sayangnya kota asal saya menyuguhkan makanan khas yang lebih beragam dan istimewa.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang sebenarnya terkesan sepele dan picisan, tapi membuat saya nyaman tinggal disini. Maka ketika meninggalkan kota ini adalah sebuah keniscayaan, kembali kesini sebelum ajal saya menjelang adalah sebuah harapan. Semoga kesampaian.
.
.
.
.
.
On the bus to Cirebon, 10 January 2016
- Rifqi Aditya -
Comments
Post a Comment