Mencintai Sejantan 'Ali
Ada rahasia terdalam di hati 'Ali yang tak dikisahkannya
pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya.
..........
'Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia
memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan
Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal
risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu 'Anhu.
‘Ali merasa diuji karena terasa apalah ia dibanding Abu
Bakr. Kedudukan di sisi nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia
bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada
Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan
perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk
menanti maut di ranjangnya.
..........
"Inilah persaudaraan dan cinta", gumam Ali.
"Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan
Fathimah atas cintaku." Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia
mengambil kesempatan, atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali
tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ‘Ali
terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah perkasa, seorang
lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat
muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh
Allah bertekuk lutut. ‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah
kebenaran dan kebhatilan itu juga datang melamar Fathimah.
..........
‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai
dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap
menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih
layak. Dan ‘Ali ridha. Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti
pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang
ini pengorbanan.
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar
juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
..........
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju
besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi
bersikeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk
mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian
untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau
pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa
‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali ‘Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan
cinta dan semua perasaandengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil
kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi
pecinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.
Di jalan cinta para pejuang. Kita belajar untuk bertanggung
jawab atas setiap perasaan kita.
.
.
.
.
.
- Kutipan buku Jalan Cinta Para Pejuang -
Comments
Post a Comment